IKLAN 2
Semua yang terjadi pada cinta pertama akan menjadi memori yang tidak akan pernah terlupakan.
Baik itu kisah yang indah atau menyakitkan, semuanya akan terbawa seumur hidup.
Cerita ini terjadi di kehidupan seorang wanita yang kisahnya ada disini.
Aku adalah seorang wanita biasa yang punya kisah hidup yang biasa.
Aku lulusan S1 yang setelah selesai kuliah pergi keluar dari rumahku untuk cari pekerjaan.
Di dalam kereta ke kota, aku bertemu dengan cinta pertamaku.
Dia periang, gampang diajak bicara, perhatian, dan baik hati.
Sesampainya kami di kota, dia juga memberikanku nomor handphone, supaya bisa tetap ngobrol, katanya.
Hampir setiap hari dia menelfonku, menanyakan kabarku, menghiburku waktu aku susah.
Seperti seorang koko yang perhatian pada adiknya.
Waktu aku ditipu, dia juga orang pertama yang datang untuk menolongku.
Waktu aku nggak punya apa-apa, dia mengajakku untuk tinggal di rumahnya.
Tinggal di sebuah kamar yang kecil yang dia siapkan untukku.
Kasurnya dia berikan untukku sementara dia tidur di atas tikar.
Keesokan harinya, dia mengajak aku untuk mencari tempat lain yang lebih murah.
Dia bahkan menyisihkan gajinya untuk membayar DP rumah itu.
Dia bukan pekerja kantoran yang gajinya besar.
Dia cuma seorang buruh antar yang gajinya bergantung pada ada tidaknya order.
Akhirnya setelah aku mendapat pekerjaan yang cukup baik, aku mengajaknya makan dan tanpa kusangka.
Dia menyatakan perasaannya padaku dan kami pun berpacaran.
Tapi seiring dengan waktu, aku mulai melihat banyak kebiasaan buruknya.
Dia jarang mencuci kaki, tidak pernah membereskan rumah, dan sering pergi keluar dengan temannya untuk minum bir.
Kami cukup sering bertengkar hanya karena hal-hal kecil.
Suatu hari, mamaku meneleponku dan bertanya apakah aku sudah punya pacar.
Waktu itu aku berpikir, keadaan aku dan pacarku sedang tidak baik.
Pekerjaanku terlihat lebih baik dan harusnya orangtuaku tidak akan menyetujui hubungan kami.
Karena itu aku bersikeras mengatakan kalau aku masih sendiri.
Akhirnya mamaku mengenalkanku pada seorang pria.
Aku beberapa kali pulang untuk menemui pria itu, sekedar untuk berkenalan.
Tapi pacarku itu tidak pernah setuju dan kami selalu bertengkar setiap kali aku mau pulang ke rumah orangtuaku.
Akhirnya di tahun 2009, aku putus dengan pacarku itu dan beberapa bulan setelahnya aku menikah dengan pria yang jadi manager di tempat kerjaku.
Hanya karena aku tidak tahan dengan pertengkaran yang terus terjadi antara aku dan mantan pacarku.
Kalau dipikir-pikir, keputusanku waktu itu terlalu buru-buru.
Waktu masa-masa kami belum menikah, manager yang sekarang menjadi suamiku ini setiap hari mengirimiku bunga.
Selain itu sering menraktirku makan, mengajakku nonton bioskop, sesekali memberikanku hadiah, dan hal-hal ini membuat hatiku luluh.
Tapi setelah menikah dia memintaku untuk jadi ibu rumah tangga penuh waktu, nggak pernah lagi ada hal-hal romantis yang dia lakukan.
Bahkan aku pernah tahu secara tidak sengaja kalau dia masih berhubungan dengan mantan istrinya.
Tidak jarang dia membawa pulang anak dari istrinya untuk dijaga olehku.
Pernah suatu kali saat aku sedang menjaga anaknya, mereka pergi kencan ke bioskop dan hal ini membuatku marah besar.
Aku bertengkar dengan suamiku, bahkan memarahi mantan istrinya.
Sejak itu mereka tidak pernah lagi berhubungan, tapi sikap suamiku berubah total.
Aku lebih muda 16 tahun dari mantan istrinya, lebih cantik, dan lebih bisa dandan, masakan dia lebih memilih mantan istrinya?
Di tahun 2014, aku memergoki suamiku sedang berhubungan dengan mantan istrinya lagi. Emosiku langsung memuncak dan aku minta cerai saat itu juga.
Akhirnya di tahun 2015, aku menjadi sales di sebuah perusahaan kecil yang prospeknya tampak baik.
Suatu hari saat aku sedang dinas, aku tak menyangka aku bertemu dengan mantan pacarku.
Dia sudah menjadi seorang pengusaha besar dan saat ini menjadi klien utama kantor kami. Aku terkejut, tapi dia tampak tenang.
Dia menanyakan kabarku dan kami sedikit bernostalgia.
Akhirnya dia mengatakan kalau dia sudah memiliki seorang pacar dan mereka akan menikah tahun depan.
Hatiku rasanya pedih, tapi apa daya, semua sudah terjadi, dan hari itu, kami tidak berbisnis, kami hanya bernostalgia.
Dia berkata, "Jujur, aku banyak mengalami sakit hati waktu kita putus. Tapi kalau bukan karena kamu, aku nggak yakin aku bisa sukses hari ini."
Setelah kami berpisah, aku mengirimnya sebuah SMS, "Apakah kamu masih sayang sama aku? Walaupun sedikit aja?"
"Cinta atau nggak cinta, sayang nggak sayang, semuanya udah berlalu."
Melihat jawabannya, aku tahu aku sudah kehilangan seseorang yang benar-benar mencintaiku.
Aku menangis, sadar aku masih mencintainya. Tapi semua sudah berlalu dan kehidupanku harus berjalan.